Tuesday, August 02, 2011

Apakah ini bisa disebut cerpen?

Dia bingung sebenarnya apa yang terjadi dengan dirinya. Dia masih saja terus memikirkan sosok itu, sosok yang begitu dekat dihatinya 8 bulan yang lalu, sosok yang ketika melihat senyumnya maka semua beban dipundak serasa diangkat, sosok yang membuatnya mampu bertahan di suatu tempat hanya karena sekali dua kali mereka bertemu di tempat itu.
Bukannya dia tidak pernah mencoba melupakan, hanya saja ketika keinganannya untuk move on begitu bulat, maka yg terjadi pastilah pertemuan. Seakan Tuhan melarangnya untuk melupakan, padahal itu pasti cobaan dari-Nya yang lagi-lagi ia salah artikan.

Sampai suatu waktu sosok itu pergi berpuluh-puluh kilometer jauhnya dari kota untuk pendidikannya dalam waktu yang tidak begitu lama sebenarnya tapi cukup untuk memupuk rindu. Dia pikir inilah waktunya. Waktu yang tepat untuk menetralkan rasa.

Anehnya, dia mendapati dirinya sendiri terus memikirkan sosok itu. Kesibukan dan keramaianpun tak pernah benar-benar ampuh menjadi obat untuknya. Diapun berfikir satu pertemuan mungkin mampu membantunya mengobati rasa rindu. Karena dengan rindu yang begitu kuat di hati, hati tak bekerja optimal, proses penetralan rasa terganggu.

Diapun kembali meminta kepada Tuhan. Dia tahu sosok itu akan pulang ke kota beberapa hari ke depan mengurus sesuatu menyangkut akademik dan sebuah event. Dia berharap bisa bertemu sosok itu di kampus. Sehari, dua hari, tiga hari. Mereka akhirnya bertemu. Dia tidak begitu mengingat bagaimana mereka bertemu, yang dia ingat mereka begitu akrab, lebih akrab dari sebelumnya, dia begitu bahagia. Sampai akhirnya dia terbangun dari tidur panjangnya dan menyadari ternyata itu cuma bunga-bunga tidur, terasa begitu nyata baginya.

Sehari, dua hari, tiga hari. Tuhan lagi-lagi belum mengabulkan permintaannya. Permintaan yang selalu dia sisipkan diantara doa tidurnya. Padahal ia hanya ingin bertemu, tak perlu ada sapaan, sosok itu bahkan tak perlu melihatnya, cukup ia yang melihat dari jauh. Bagi dia itu cukup. Tapi selalu begitu, ketika dia meminta bertemu maka tak ada pertemuan dan ketika dia meminta untuk tidak dipertemukan dia bahkan mendapatkan sapaan dengan sebutan yang khas dari sosok itu untuk dirinya. Dia tersenyum sendiri mengingatnya. “Ah, Tuhan selalu punya rencana sendiri” pikirnya.

Malam itu sebelum tidur terinspirasi dari sebuah film, ia menuliskan nama sosok tersebut di langit. Bedanya di film menuliskan di langit yang bertabur bintang, sedangkan dia menuliskan di langit-langit kamarnya. Dia tersenyum lagi, tak menyangka dia akan melakukan hal sekonyol itu. Dia memutuskan untuk tidur dan berhenti meminta hal yang tidak-tidak kepada Tuhan. Menerima bahwa tidak bertemu mungkin memang suatu proses yang harus ia lalui untuk penetralan rasa.


Keesokan harinya, ia berjalan di koridor kampusnya. Salah seorang teman yang berjalan didepannya tiba-tiba menyebutkan nama sosok itu. Jantungnya melompat, refleks ia merapikan poni. Teman yang lain, meyakinkan dia bahwa sosok itu ada di sekitar mereka. Dia mengutuki dirinya sendiri yang terlalu malas menggunakan kacamata sehingga pandangannya terbatas. Mereka akhirnya hanya berjarak beberapa meter, ia melihat sosok itu dari belakang, melihat punggungnya, dia bahkan samar-samar bisa mendengar suara sosok itu. Dia tak pernah tau apakah sosok itu melihatnya atau tidak, dia terlalu sibuk bersembunyi di balik pundak kedua orang temannya.

Dia akhirnya tersenyum, bukan kepada sosok itu, bukan pula kepada kedua orang temannya, tapi kepada-Nya yang menyusun pertemuan ini. Terlalu rapi, hanya Tuhan yang bisa mengatur seperti ini. Mengatur setiap orang hanya mendapat apa yang mereka butuhkan,bukan apa yang mereka inginkan. Dan dia sangat sadar, bahwa sosok itu bukan yang dia butuhkan bahkan........ inginkan.

Proses penetralan rasa kembali dia mulai…
Kini ia serahkan kepada-Nya biarkan Tuhan yang mengatur lagi akhir dari penetralan ini, dia cukup berusaha lebih kuat dari sebelumnya, pikirnya.

Published with Blogger-droid v1.6.3

Pages