Semakin mengerti kenyataan hidup bahwa ada beberapa orang yang memang hanya baik karena butuh. Yup.
Agak sakit hati sih, yang saya pikir "ok ini karena kita teman yah jadi yuk mari" ternyata salah. Tidak sepenuhnya salah sih, setidaknya saya tetap menganggap dia teman walaupun (mungkin) dia tidak.
Bahkan setelah kita melewati banyak hal bersama-sama, hal yang menurut saya cukup manis untuk di simpan di kotak memori berlabel teman.
Tapi toh menurut dia tidak.
Ok ini memang cuma kesimpulan saya. Yah, kan gak mungkin juga nanya ke orangnya, "Kamu nganggep saya teman gak sih?" duh dramatis abis. Dan 90% saya yakin jawabannya ya walaupun di barengi dengan bercanda.
Lalu mengapa saya sangat yakin bahwa kata yang akan keluar itu palsu?
Satu kejadian, bulan lalu sepertinya. Bagaimana yah menceritakannya. Intinya dia tahulah bahwa saya di boikot di sosial media dia oleh seseorang.
Sepele sih.
Tapi justru itu, kalo ini memang sepele kenapa tidak di bicarakan oleh seseorang itu? Saya tidak butuh hal besar, hanya yang sepele seperti ini. Karena jika yang besar datang, saya pasti diam dan mundur, tau posisi dan batas.
Seperti biasa saya diam, pura-pura gak ada apa-apa dan memperlakukan dia seperti biasa.
Sampai salah seorang teman saya gemas, dan akhirnya menyinggung dia pun, dia hanya bisa ber-"oh yah? Masa?" and do nothing *deg* menghujam jantungku.
Dia pernah bilang "saya tuh paling malas galau, malas mikirin hal-hal yang gak penting". Dia juga kalo lagi ngobrol dan sedikit berdebat tiba-tiba bilang sambil ketawa sepintas "sudahlah, gak penting juga di perdebatkan, tidak ada gunanya"
Jelaskan? Tidak penting perasaanku yang merasa tidak dianggap teman oleh dia, kenapa? Karena tidak ada gunanya. So what kalo saya sakit hati? Saya bukan siapa-siapa. Tidak berpengaruh apa-apa bagi dia ke depan.
Nyeri.
Tapi malah membuat saya kagum. Saya berharap bisa seperti dia dan berhenti over think gak penting. Terutama berhenti memikirkan orang yang tidak pernah memikirkan saya, seperti dia.
Saya sangat hati-hati memasukkan orang dalam "kotak"ku, sekalinya masuk saya sayang sekali. Begitulah saya. Dan dia masuk. Bodohnya saya. Dan jika sayang, mana mungkin saya benci?
Dia tetap ku anggap teman, bahkan ketika dia cuma menganggapku orang yang bisa di manfaatkan, pembokat terlalu kasar.
Duh nyeri lagi.
Padahal sudah sebulan ini berusaha melupakan dan menjaga jarak biar gak sakit, tetap aja masih nyeri.
Kamu, eh kamu..
Sayang sekali sama kamu. Selalu ingin melihat kamu berhasil meraih mimpi-mimpimu tapi plis berubah yah kalo bisa. Bukan menjadi over think, gaklah. Cukup sedikit peka. Atau kalo susah, beraktinglah seolah-olah kamu peka. Hah, tapi akting kamu kan jelek sekali. Kalo ada maunya aja bisa terbaca dari radius 83837 kilometer *lebay*
Maaf kalo ada salah kata, dan yah saya memang bodoh karena menuliskan ini. Biarlah, saya hanya tidak sanggup menyimpan tanpa di keluarkan.
------
Tulisan di atas di tulis tgl 16 Mei 2012. Saat long weekend. Tidak di pos karena berbagai pertimbangan salah satunya karena ngantuk berat dan entahlah gak enak aja kalo orangnya nanti baca. Pas paginya saya baca, agak syok juga betapa emosionalnya saya kalo insomnia. Wakakaakkak. Trus kalo gak enak, kenapa sekarang di posting? Well karena saya udah bahas ini sama yang bersangkutan malam ini.
Tadi pas dia sms, saya becandain aja "tumben peka". Dan setelah itu terjadilah sesi intropeksi.
Yah cuma gitu saya agak terkendala sama yang namanya sms haha kebiasaan kalo mau ngobrol yah nelpon. Saya kan kalo jelasin sesuatu tuh panjangXlebar, jadi susah kalo lewat sms. Harus singkat, padat dan jelas. Tapi demi membuat dia mengerti dan mengeluarkan unek-unek yah saya harus sabar mengetik sms *singkat padat jelas* *singkat padat jelas*
*singkat padat jelas* #bacamantra
Intinya dia minta maaf dan di sadar kalo dia terkesan "begitu" sama saya dan anak-anak yang lain. Agak kaget juga, ternyata dia cukup peka. Dan lebih kaget lagi waktu mendapati air mata saya netes-netes aja gitu. Kaget karena sudah lama sekali gak meneteskan air mata kalo ada masalah.
Saya berteriak dalam hati "hellooo lemah amat! Gitu aja pertahanannya pecah!"
Saya usir pikiran itu. Sudahlah sekali-sekali netes mungkin gak apa, toh cuma netes dikit, gak terhitung nangislah *menghibur diri*. Mungkin saking kuatnya memendam dan berpura-pura tidak perduli, akhirnya pas dengar kata maaf saja membuat emosi saya meleleh. Sekali-kali emosional gak apa-apakan?
Back to the topic.
Saya lega sudah bilang semuanya. Selain dia yang intropeksi diri, saya sadar harusnya saya juga. Saya masih harus belajar mengerti posisi dia kalo mengaku menganggap dia teman. Belajar lebih ikhlas.
Kamuuu
Maaf untuk segala prasangka buruk saya. Bagaimanapun, saya selalu mendukungmu! Semangat!!!!
ia tak tau apa yang ia lakukan.. karna ia tak terlalu peka.. ia hanya memandang logika bukan perasa.. kini jalani hidupmu.. yang lalu biarlah berlalu.. jadikanlah masa lalumu sebagai ilmu wahai guru...
ReplyDelete