Sunday, October 13, 2013

Karena 2 + 2, tidak selamanya 4.


Entah wajahku atau sikapku bagian mana yang membuat orang-orang sekitar suka tiba-tiba curhat masalah hidupnya dengan santai, maksudku... Jadi teman curhat sahabat, wajib hukumnya. Dengerin curhat beberapa teman dekat, yah it's ok. Curhat pasien dan keluarganya yaaah udahlah yah, resiko jadi calon dokter. Dengerin curhat perawat tentang perselingkuhan? Hmmm. Dengerin curhat supir taksi ataupun supir pete-pete tentang keluarganya? Yassalam, ini sering banget.

Kali ini dengerin curhat salah seorang teman koas, yang gak dekat saat kuliah. So, agak awkward di awal curhat.

Hari itu kami punya tugas jaga siang bersama dan di tempatkan di tempat yang aman, pengertian aman bagi koas adalah pasien dalam keadaan umum baik, tidak gawat dan tidak banyak keluhan, serta kemungkinan mendapatkan tamu pasien baru sangat sedikit serta dokter jaga yang baik hati. Aman~

Di ruangan itu ada komputer yang biasa di pake perawat dan koas untuk memutar musik dengan volume minim dan bermain game. Saya yang tidak punya kemampuan bermain game menyerahkan mouse komputer kepada teman jaga saya, di terimanya dengan senang. Sementara saya pamit keluar sebentar untuk mencari sinyal. Setelah sms yang saya nanti muncul di layar hp, saya kembali ke tempat jaga. Teman saya sedang mem-follow-up, tekanan darah, nadi, pernafasan serta suhu pasien di kamar kami. Rajin amat, pikirku. Yang artinya sejam lagi, giliranku mem-follow-up.

Saya kembali menantap layar hp, membaca kembali sms darinya. Harusnya sekarang minimal saya merasa sesak, nyeri di dada atau mata memberat akibat air yang menggantung di pelupuk. Tapi itu tidak terjadi pada saya.

Akhirnya selesai urusannya dengan pasien, ia kembali bermain laptop. Sedangkan saya yang duduk di sampingnya hanya menaruh kepala di meja, mencoba tidur.

"Dhin.."
"Apa?"
"Punya pacar?"
"Hmm. Menurutmu?"
"Yang saya dengar sih jomblo"
"Yaudah demikian"
"Oh kirain udah gak"
"Kenapa emang?"
"Habis sibuk dari tadi nyari sinyal, kayak orang yang nunggu kabar dari orang penting"
"Sotoy"
"hahhahaha"

*mencoba tidur lagi*

"Kenapa jomblo?"
"Ya karena belum nemu aja yang tepat" jawaban standar tiap di tanya orang, tapi memang sesimple itu sesungguhnya.
"Banyak milih-milih pasti" komentar standar pun.
"Nggak milih. Cuma gak ada yang cocok masa dipaksa"
"Coba paksa sekali, kan gak tau endingnya"
"Taulah"
"Emang situ Tuhan?"
"Hhahahahah gak sih tapi yaaaa..."
Kubiarkan kalimat ku menggantung, yang dia tidak tahu adalah beberapa hari yang lalu saya memaksakan sesuatu dan berakhir baru saja dengan masuknya sebuah sms tadi. Ending yang persis seperti yang saya pikirkan. Kita memang bukan Tuhan, tapi jika kau mau menggunakan mata untuk melihat dan menggunakan logika untuk berpikir serta mengabaikan hati untuk sementara, seringkali sesuatu terlihat begitu jelas. Sangat jelas. 

"Tapi apa?"
"Gitu deh, malas ah" Saya sering merasa kurang nyaman mengutarakan pendapat jika belum terlalu dekat.
"Tapi jomblo enak sih Dhin"
"Kenapa emang?"
"Bisa jalan ama sapa aja tanpa beban. Bebas"
"Hahahahah. Ish cowok mah emang gitu? Situ mau jalan ama sapa lagi sih? Udah punya cewek juga"
"Pengen bebas bukan berarti pengen jalan sama cewek lain. Kadang ..... Blablababala" *sensor*

Akhirnya saya mendengar semua curhatnya. Rasanya agak aneh mendengar curhat cowok yang gak terlalu dekat, saya sering bingung ingin menggali curhatnya agar ia plong ceritain semua atau biarkan menggantung karena mungkin ia tidak ingin berbagi sepenuhnya. Grrr untungnya awkwardnya berkurang cepat, karena ternyata dia seorang story telling yang menyenangkan. Denger curhatnya kayak di dongeng. Haha *ditoyor* Isinya? Gak sopan kan yah bocorin curhat orang?

Sebenarnya curhat yang inti permasalahannya sering sekali saya dengar. Saya sering merasa masalah inti dari setiap orang sering kali sama. Perbedaan hanya terletak di tokoh utama, latar belakang tokoh, setting tempat, bumbu-bumbu cerita serta bagaimana ia menghadapi masalah yang membuatnya berbeda.

Sama ketika kita menonton drama korea, penggemar drama pasti ngerti maksud saya. Inti permasalahan gak lebih dari, si kaya jatuh cinta sama si miskin, perjodohan, benci jadi cinta, pacaran kontrak, punya pacar penyakitan, saudara yang tertukar, cinta sama sahabat sendiri, cinta bertepuk sebelah tangan, cinta kandas di tengah jalan, apalagi hayo? Tinggal bumbunya aja yang beda. Begitupun sinetron kan?

Film action juga, intinya menyelamatkan dunia, prosesnya doang yang beda, tokohnya, dll. Film kompetisi dance, balapan, semua beda cuma di prosesnya.

Bahkan novelpun begitu. Yang membedakan adalah siapa penulisnya, bagaimana ia merangkai kata itu yang membuatnya berbeda.

Dikehidupan nyata, kita sering kali merasa tweet seseorang nancep sekali, karena persis apa yang kita alamin. Mungkin bukan kisahnya, tapi feelnya yang sama. Mungkin bukan inti ceritanya yang sama tapi rasa kecewanya. 

Atau seperti yang sedang saya alami, mendengar curhat teman yang feelnya sama dengan saya saat itu. Mungkin sering juga orang lain di belahan bumi lain, atau bahkan orang yang kita temui di tempat makan pun juga sedang merasa feel yang sama dengan kita saat itu tapi kita tidak pernah tau.

Saat itu saya teringat tulisan salah satu penulis favorit saya kayak gini :

No matter who we are, how we dress, where we live, setiap orang itu punya pergulatan batin dan pertanyaan ttg hidup yg mirip. We're all not that different, if we're willing to look beyond the facade. some of us made the same mistake, some of us love the same thing. 
"i'm having a hard time believing in the process"
"what process?" 
"the process that says if i do my part,everything will turn out right"
-Ika Natassa.

Dulu saya juga merasa seperti itu. Tapi akhirnya saya sadar bahwa hidup ini tidak adil. Yah, memang seperti itulah. Bukan hanya tentang percintaan, dalam dunia kerja, dunia kampus, sosial dan di masyarakatpun, seperti itu. Tidak ada keadilan.

Kamu akan mendapatkan sesuatu yang kamu perjuangkan adalah bullshit. Hidup bukan matematika, ketika 2 kamu tambahkan dengan  2 kamu akan mendapatkan 4. Di kehidupan nyata 2+2 tidak selamanya 4. Terkadang kamu mendapatkan 8, terkadang kamu mendapatkan 0.

Beberapa orang beruntung hanya memberikan 2, dan mendapatkan 8. Yah that's life dude.

Tapi kita tidak perlu merasa iri, karena kita tidak mengenalnya secara keseluruhan karena ia pasti punya sisi 0 yang tidak ia tampakkan.

Setiap orang pasti punya sisi 0 dan 10. Dan setiap orang hanya memperlihatkan sebagian sisinya itulah mengapa kita tidak perlu menjudge hidup orang lain. Terlebih lagi membandingkan dengan hidup kita sendiri. Ketika kamu mendapatkan 8, syukuri. Ada yang mati-matian ingin mendapatkan 8mu itu.

Di perjalanan pulang dari RS menuju rusun yang saya tempuh dengan berjalan kaki, saya selalu menikmati saat berpikir sendiri sepert itu, karena di RS yang hectic sangat tidak memungkinkan, begitu pun di Rusun biasanya selesai mandi saya langsung tertidur. Tidak sempat memikirkan masalah hidup.

Saya berpikir, tentang curhat sore itu. Ketika teman saya merasa memberikan 9 bahkan 10, tapi pasangannya merasa ia tetap kurang.
Lalu tentang diriku sendiri, yang telah lama berhenti berusaha, lalu seminggu yang lalu saya putuskan berusaha 99% padahal logika ku berteriak bahwa kemungkinan bertahan dan kebahagiaan yang saya dapatkan mungkin cuma 1%.

99 haha MUNGKIN dia akan tertawa. MUNGKIN baginya usahaku bukan 99, MUNGKIN ia kan memberi 20, atau MUNGKIN 10. Mengapa begitu banyak mungkin? Karena saya lebih banyak menerka-nerka tanpa tau apa yang ada dipikirannya juga yang dia rasa. Terserahlah, sekali lagi setiap orang tidak menunjukkan segala sisinya, ya kan? So, bagiku itu 99, terserah orang menilainya berapa. Dan prediksiku hampir benar, hanya meleset sedikit karena yang saya dapat bukan 1, tapi 0.

Saya tertawa kecil, ya ya ya yaaa tidak ada yang di permainkan, ini cuma hukum alam. Dan saya ikhlas.

Pages